KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’a lamin, puji
dan syukur kepada allah Subhanallahu wa Ta’ala atas segala rahmat dan
karunia-Nya kami penulis makalah dapat menyelesaikan makalah ini yang merupakan
tugas dari mata kuliah Akuntansi Syari’ah yang membahas tentang Sejarah dan
perkembangan Akuntansi Syari’ah.
Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu kami terutama kepada keluarga kami dan
rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak, kritik dan saran diharapkan dapat diberikan
agar berguna untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Makassar,
17 Februari 2015
(Penyusun)
BAB. I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”.
Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori
Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari
tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa
de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai
“Double Entry Accounting System”.
Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah”
atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya
berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan
bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah
SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh
para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk
perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak
pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri
pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk
menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas
keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini
sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah
Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi,
dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh
kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa itu akuntansi Syariah?
2. Bagaimana filosofi akuntansi syariah?
3. Bagaimana konsep dasar teori
akuntansi syariah?
4. Bagaimana perkembangan kontemporer
akuntansi syariah?
III.
TUJUAN
1. Memahami apa itu akuntansi syariah
2. Mendalami filosofi di balik akuntansi syariah
3. Mengetahui bagaimana konsep serta
perkembangan akuntansi syariah!
bab. ii
pembahasan
A.
pengertian Akuntansi Syari’ah
Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi
bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai
transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran
disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan
dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita,
sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran
menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat
181-184 yang berbunyi:
Artunya:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan
kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut,
menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal
pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur
kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan
keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang
dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.
Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi
dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng
kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan
pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi
pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun”
sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”
Kemudian,
sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran
di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana
digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah
takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah
yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa
kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai
kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari
sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran,
pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu
kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran,
Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa
tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah
Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan
dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai
dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang
berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
B. AKUNTANSI SYARIAH : TEORI ILMU
SOSIAL PROFETIK
Secara normative, masyarakat muslim mempraktikkan akuntansi
berdasarkan pada perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) : 282. Perintah ini
sesungguhnya bersifat universal dalam arti bahwa praktik pencatatan harus
dilakukan dengan benar atas transaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan
orang lainnya. “Substansi” dari perintah ini adalah : (1) praktik pencatatan
yang harus dilakukan dengan (2) benar (adil dan jujur). Substansi dalam konteks
ini, sekali lagi, berlaku umum sepanjang masa, tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Sementara yang selalu terkait dengan “substansi” adalah
“bentuk”. Berbeda dengan “substansi”, “bentuk” selalu dibatasi oleh ruang dan
waktu. Oleh karena itu “bentuk” akan selau berubah sepanjang masa mengikuti
perubahan itu sendiri. Yang dimaksud dengan “bentuk” di sini adalah teknik dan
prosedur akuntansi, perlakukan akuntansi, bentuk laporan keuangan dan
lain-lainnya. Bentuk praktik akuntansi di negara Arab akan berbeda dengan
bentuk praktik akuntansi di Indonesia. Demikian juga, bentuk praktik akuntansi
di Amerika Serikat pada tahun 1700-an akan berbeda dengan praktik akuntansi
pada tahun 2000-an sekarang ini. “Bentuk” selalu melekat dengan kondisi
objektif (lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lainnya) dari
masyarakat di mana akuntansi tadi dipraktikkan. Oleh karena itu, sangat wajar
bila”bentuk” akuntansi di masing-masing negara / bangsa selalu berbeda. Bahkan
di satu negara pun akan berbeda bentuknya jika dilihat dari masa ke masa.
Perintah normatif alquran di atas perlu dioperasionalkan
dalam bentuk aksi / praktik. Sehingga perinah alquran dapat membumi (dapat
dipraktikan) dalam masyarakat. Selama ini masyarakat muslim secara umum
terperangkap pada aspek normative dalam memahami perintah-perintah agama, dan
sebaliknya melupakan praktiknnya. Sebagai contoh misalnya umat muslim sering
mednapatkan ceramah bahwa “bersih itu adalah sebagian dari iman”, tetapi
ternyata dalam praktinya umat muslim tidak dapat mengerjakannya. Hal ini
dibuktikan dengan keadaan masjid yang selalu kotor, rumah sakit Islam yang juga
kotor, dan masih banyak contoh lainnya.
Di sini terlihat adanya jurang pemisah (gap) antara perintah
normatif dengan praktiknya. Dalam kaitannya dengan ini Kuntowidjojo (1991)
mengusulkan perlunya “ilmu sosial profetik”. Yang dimaksud dengan ilmu sosial
profetik di sini adalah ilmu yang diturunkan dari alquran dan hadis (sunnah
nabi) dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang nantinya digunakan untuk
menjembatani antara perintah normative dengan praktik. Dengan ilmu ini,
perintah-perintah normative menjadi lebih operasional dan dapat dipraktikkan
dalam dunia nyata. Dalam konteks ini, akuntansi syariah yang sedang kita
bicarakan sebetulnya merupakan bagian dari upaya kita dalam membangun ilmu
sosial profetik di bidang akuntansi. Perintah normative telah ada dalam
alquran, berikutnya adalah menerjemahkan alquran dalam bentuk tori Akuntansi
Syariah yang pada gilirannya digunakan untuk memberikan arah (guidance) tentang
praktif akuntansi yang sesuai dengan syariah.
C. PRINSIP FILOSOFIS AKUNTANSI SYARIAH
Teori Akuntansi Syariah (dalam hal ini adalah knowledge)
digunakan untuk memandu praktik akuntansi (action). Dari keterkaitan ini kita
bisa melihat bahwa teori Akuntansi Syariah (knowledge) dan praktik Akuntansi
Syariah (action) adalah dua sisi dari satu uang logam yang sama. Keduanya tidak
dapat dipisahkan, keduanya juga tidak boleh lepas dari bingkai keimanan /
tauhid (faith) yang dalam hal ini bisa digambarkan sebagai sisi lingkaran pada
uang logam yang membatasi dua sisi lainnya untuk tidak keluar dari keimanan.
Dalam konteks lingkaran keimanan tadi, maka secara filosofis
teori Akuntansi Syariah (sebagai salah satu ilmu sosial profetik) memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut (Kuntowidjojo 1991: Triyuwono 1995; 2000a;
2000b):
· Humanis
· Emansipatoris
· Transendental, dan
· Teleological
Humanis memberikan suatu pengertian bahwa teori Akuntansi
Syariah bersifat manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat dipraktikkan
sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang selalu
berinteraksi dengan orang lain (dan alam) secara dinamis dalam kehidupan
sehari-hari. Emansipatoris mempunyai pengertian bahwa teori Akuntansi Syariah
mampu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap teori dan praktik
akuntansi modern yang eksis saat ini. Perubahan-perubahan yang dimaksud disini
adalah perubahan yang membebaskan (emansipasi). Transendental mempunyai makna
bahwa teori Akuntansi Syariah melintas batas disiplin ilmu akuntansi itu
sendiri. bahkan melintas batas dunia materi (ekonomi). Dengan prinsip filosofis
ini teori Akuntansi Syariah dapat memperkaya dirinya sendiri dengan mengadopsi
disiplin ilmu lainnya (selain ilmu ekonomi), seperti: sosiologi, etnologi,
fenomenologi, antropologi, dan lain-lainnya bahkan dapat mengadopsi nilai
ajaran “agama lain”. Kemudian, aspek transedental ini sebetulnya tidak terbatas
pada disiplin ilmu, tetapi juga menyangkut aspek ontology, yaitu tidak terbatas
pada objek yang bersifat materi (ekonomi), tetapi juga aspek non-materi (mental
dan spiritual). Demikian juga pada aspek epistemologinya, yaitu dengan
melakukan kombinasi dari berbagai pendekatan. Sehingga dengan cara semacam ini,
teori akuntansi syariah benar-benar akan bersifat emansipatoris.
Teleological memberikan suatu dasar pemikiran bahwa
akuntansi tidak sekadar memberikan informasi untuk pengambilan keputusan
ekonomi, tetapi juga memiliki tujuan transendental sebagai bentuk pertanggung
jawaban manusia terhadap Tuhannya, kepada sesama manusia, dan kepada alam
semesta. Prinsip filosofis ini menjadi bagian yang sangat penting dalam
konstruksi Akuntansi Syariah, karena di dalamnya terkandung karakter yang unik
yang tidak dapat ditemukan dalam wacana akuntansi modern. Teori Akuntansi
Syariah memberikan guidance tentang bagaimana seharusnya Akuntansi Syariah itu
dipraktikkan.
D. KONSEP DASAR TEORI AKUNTANSI SYARIAH
Lebih lanjut dikatakan oleh Hendriksen & Van Breda
(1992) bahwa tujuan utama dari teori akuntansi ini adalah memberikan satu set
prinsip yang diturunkan secara logis untuk dijadikan sebagai referensi dalam
menilai dan mengembangkan praktik akuntansi.
Tabel
prinsip filosofis dan konsep dasar teori akuntansi syariah
No
|
Prinsip Filosofis
|
Konsep Dasar
|
1
2
3
4
|
Humanis
Emansipatoris
Transendental
Teleologikal
|
·
Instrumental
·
Socio-economic
·
Critical
·
Justice
·
All-inclusive
·
Rational-intuitive
·
Ethical
·
Holistic Welfare
|
Konsep dasar socio-economic mengindikasikan bahwa teori
Akuntansi Syariah tidak membatasi wacana yang dimilikinya pada
transaksi-transaksi ekonomi saja, tetapi juga mencakup “transaksi-transaksi
sosial”. “Transaksi sosial” di sini meliputi “transaksi” yang menyangkut aspek
sosial, mental dan spiritual dari sumberdaya yang dimiliki oleh entitas bisnis
(Cf. Mathews 1993).
Dari derivasi prinsip filosofis emansipatoris, kita
mendapatkan konsep dasar critical dan justice. Konsep dasar critical memberikan
dasar pemikiran bahwa konstruksi teori Akuntansi syariah tidak bersifat
dogmatis dan eksklusif. Sikap kritis mengindikasikan bahwa kita dapat menilai
secara rasional kelemahan dan kekuatan akuntansi yang lebih baik dari penilai
kritis ini dapat dibangun teori akuntansi yang lebih baik dari sebelumnya.
Sebagai contoh misalnya, kita dapat melihat bahwa teori akuntansi modern
memiliki kelehaman pada aspek penekanan ekonomi (materi) yang sangat tinggi,
sehingga menimbulkan efek pada tersingkirnya (atau tertindasnya) aspek-aspek
non-materi (non-ekonomi). Aspek yang tersingkir atau tertindas ini, dengan
menggunakan konsep dasar critical, diangkat atau dibebaskan memposisikan aspek
materi (lihat Triyuwono 2000b). Jadi kalau kita lihat, posisi aspek materi dan
non-materi pada teori akuntansi modern didudukkan pada posisi yang tidak adil.
Oleh karena itu, dengan konsep dasar justice, aspek-aspek penting dalam
akuntansi akan didudukkan secara adil.
Kemudian berikutnya adalah prinsip filosofis transendental.
Dari prinsip ini kita akan mendapatkan konsepd asar all-inclusive dan
rational-intuitive. Konsep dasar all-inclusive memberikan dasar pemikiran bahwa
konstruksi teori Akuntansi Syariah bersifat terbuka. Artinya, tidak menutup
kemungkinan teori Akuntansi Syariah akan mengadopsi konsep-konsep dari
akuntansi modern, sepanjang konsep tersebut selaras dengan nilai-nilai Islam.
Secara implisit, konsep ini mengarahkan kita pada pemikiran bahwa substansi
lebih penting daripada bentuk.
Konsep dasar rational-intuitive mengindikasikan bahwa secara
epistemologi, konstruksi teori Akuntansi Syariah memadukan kekuatan rasional
dan intuisi manusia. Konsep ini tentunya sangat berbeda dengan konsep
teori-tori modern. Teori-teori modern (termasuk akuntansi) mendudukkan rasio
pada posisi sentral dan sebaliknya menyingkirkan intuisi dalam proses
konstruksi teori. Intuisi, bagi proponen teori modern, berada di luar domain
ilmu pengetahuan yang rasiona. Oleh karena itu, intuisi manusia tidak dapat
dilibatkan dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Namun dalam kenyataannya, intuisi
manusia memiliki kekuatan yang sangat besar dalam melakukan perubahan-perubahan
signifikan dalam masyarakat. Intuisi inilah sebetulnya merupakan instrumen
ajaib yang dapat melahirkan inovasi-inovasi yang tidak pernah terpikrkan
sebelumnya. Jadi bukan suatu hal yang aneh, bila dalam konstruksi teori
Akuntansi Syariah, intuisi merupakan instrumen yang sangat penting yang
kemudian disinergikan dengan instrumen rasional manusia.
Selanjutnya dari pinsip filosofis teleologikal kita mendapatkan
konsep dasar ethnical dan holistic. Ethical merupakan konsep dasar yang
dihasilkan dari konsekuensi logis keinginan kembali ke Tuhan dalam keadaan
tenang dan suci. Untuk kembali ke Tuhan dengan jiwa yang tenang dan suci, maka
seseorang harus mengikuti hukum-hukum-Nya (Sunnatullah) yang mengatur
baik-buruk, benar-salah, adil-zholim. Singkatnya, teori Akuntansi Syariah
dibangun berdasarkan nilai-nilai etika Islam. Konsekuensi dari penggunaan
nilai-nilai etika Islam dalam konstruksi Akuntansi Syariah adalah diakuinya
bahwa kesejahteraan yang menjadi salah satu aspek Akuntansi Syariah tidak
terbatas pada kesejahteraan materi saja, tetapi juga kesejahteraan non-materi.
Jadi yang dimaksud dengan kesejahteraan di sini adalah kesejahteraan yang utuh
(holistic welfare). Ini tentu sangat berbeda dengan teori akuntansi modern.
Teori akuntansi modern hanya berorientasi pada kesejahteraan materi.
Konsep dasar yang telah dijelaskan di atas ini akan menjadi
referensi bagi kita yang akan mengonstruksi teori akuntansi modern. Konsep
dasar ini akan menghasilkan bentuk teori akuntansi yang berbeda dengan teori
akuntansi modern. Dan pada gilirannya, akan menghasilkan bentuk praktik
akuntansi yang berbeda dengan akuntansi modern saat ini.
E. DASAR HUKUM
AKUNTANSI SYARIAH
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah
bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas
(persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak
bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam,
memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi
Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma
masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai
pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah
dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit
ekonomi;
2.
Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip
periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3.
Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan
bertanggal;
4.
Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip
penentuan barang;
5.
Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip
perbandingan income dengan cost (biaya);
6.
Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan
kesinambungan perusahaan;
7.
Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan
atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut
Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam,
antara lain terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara
menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat
ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan
konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku,
dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang
akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2.
Modal dalam konsep Akuntansi Konvensional terbagi
menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar
(aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi
menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3.
Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan
barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan
hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau
sebagi sumber harga atau nilai;
4.
Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan
ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta
mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat
memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan
nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan
resiko;
5.
Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal,
mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang
haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok
dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari
transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada,
dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah
ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak
boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6.
Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu
hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa
laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang,
baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu
keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba
itu diperoleh.
Komponen laporan keuangan entitas
Syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan
ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan
penggunaan dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana qardh dan
catatan atas laporan keuangan. Sedangkan komponen laporan keuangan konvensional
tidak menyajikan laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan
penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana qardh.[1]
F.
KONDISI OBYEKTIF LAHIRNYA PARADIGMA AKUNTANSI SYARIAH
Lahirnya akuntansi syariah sekaligus sebagai paradigma baru sangat terkait
dengan kondisi objektif yang melingkupi umat islam secara khusus dan masyarakat
dunia secara umum. Kondisi tersebut meliputi : norma agama, kontribusi umat
islam pada masa lalu, sistem ekonomi kapitalis yang berlaku saat ini, dan
perkembangan pemikiran.
a. Norma Agama
Ajaran normatif agama sejak awal keberadaaan islam telah
memberikan persuasi normatif bagi para pemeluknya untuk melakukan pencatatan
atas segala transaksi dengan benar dan adil sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an Al-Baqarah : 282
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun dari pada utangnya... (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat inilah yang sebenarnya memberikan dorongan kuat kepada
kaum muslim untuk menggunakan akuntansi dalam setiap bisnis dan transaksi
yang dilakukannya. Disamping itu juga ada ayat-ayat lain yang sangat kondusif
bagi mereka untuk melakukan pencatatan, yaitu ayat-ayat tentang kewajiban
membayar zakat. Ayat tersebut diantaranya adalah :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensuciksn mereka, dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.dan
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. (QS. At- Taubah: 103).
Ayat-ayat tersebut sangat berpengaruh terhadap cara berbisnis
dan berprilaku umat islam dalam dunia nyata. Ayat tersebut tidak sekedar norma,
tetapi adalah praktik yang bisa “membumi” dalam bentuk perilaku kehidupan
manusia.
b.
Kontribusi Umat Islam
Sepintas deskripsi diatas secara sepintas sebetulnya sudah
menunjukkan kontribusi umat islam sejak awal masa Islam terhadap akuntansi,
yaitu teknik pembukuan itu sendiri. Disamping teknik pembukuan dimana akuntansi
modern berkembang dengan basis sistem tata-buku berpasanagan (double entry
book-keeping system) juga pengenalan angka arab-hindu, ilmu aljabar
(matematika), dan sistem perdagangan merupakan faktor pemberi kontribusi
terbesar bagi berkembangnya akuntansi modern saat ini.
c.
Sistem Ekonomi Kapitalis
Tidak dapat dipungkiri geliat kapitalisme telah merambah dan
menjerat setiap penjuru dan sudut kehidupan manausia. Gerak pikir dan perilaku
kita secra sadar atau tidak berada dalam pangkuan pengaruh kapitalisme
ini. Kekuatan yang besar ini nyata, atau samar, mengeksploitasi kehidupan manusia
dan alam semesta secara otomatis. Akuntansi modern juga tidak terlepas dari
pengaruh ini. Pemikiran-pemikiran islam dan akuntansi syariah, misalnya
merupakan pemicu untuk melakukan perubahan dan pembebasan.
d.
Perkembangan Pemikiran
Sejak tiga dekade terakhir ini, umat islam mulai menunjukkan
geliat kehidupannya dari sudut jendela ilmu pengetahuan. Ismail Al-Faruqi,
misalnya leawat islamisasi ilmu pengetahuannya seolah menggoyang tidur lelapnya
umat islam untuk bangun mengonstruksi ilmu pengetahuan berdasarkan jiwa tauhid.
Instrumen penyebar ide islamisasi ilmu pengetahuan ini telah didirikan di
Herndon : Amerika Serikat, yang dikenal dengan anam international institute
of islamic thught (IIIT). Lembaga ini akhirnya menyebar keberbagai
negara islam lainnya, seperti : Pakistan, Arab Saudi, Iran, Malaysia, dan
Indonesia. Di Indonesia lembaga ini didirikan sebagai cabang yang independen
dengan anama international institute of islamic Tought-Indonesia
(IIIT-I) pada November 1999 yang lalu.
IIIT melakukan islamisasi terhadap ilmu pengetahuan sosial,
seperti : antropologi, ekonomi, psikologi, sosiologi, dan lainnya. Di Indonesia
IIIT-I memfokuskan diri pada konstruksi dan pengembangan Ekonomi Islam.
Sementara, sampai saat ini wacana ekonomi islam yang telah turunp pada dunia
empiris adalah lembaga keuangan (bank syariah, baitul mal wa tamwil), asuransi
islam (takaful), dan reksadana syariah.
G. PERKEMBANGAN
KONTEMPORER AKUNTANSI SYARIAH
a)
Pengaruh Islam terhadap Perkembangan
Akuntansi
`Sebelum berdirinya pemerintahan Islam, peradaban didominasi
oleh dua bangsa besar yang memiliki wilayah yang luas, yakni Romawi dan Persia.
Saat Nabi Muhammad SAW lahir, sebagian besar daerah di Timur Tengah berada
dalam jajahan, daerah syam dijajah oleh Romawi, sedangkan Irak dijajah oleh
Persia. Adapun perdagangan bangsa Arab Mekkah terbatas ke Yaman pada musim
dingin dan Syam pada musim panas.
Pada saat itu, akuntansi sudah digunakan oleh para pedagang dalam bentuk perhitungan barang dagangan sejak mulai berdagang sampai pulang. Perhitungan tersebut dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan, untung atau rugi. Bahkan, orang-orang Yahudi yang pada saat itu berdagang dan menetap juga telah menggunakan akuntansi untuk transaksi utang-piutang mereka.
Pada saat itu, akuntansi sudah digunakan oleh para pedagang dalam bentuk perhitungan barang dagangan sejak mulai berdagang sampai pulang. Perhitungan tersebut dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan, untung atau rugi. Bahkan, orang-orang Yahudi yang pada saat itu berdagang dan menetap juga telah menggunakan akuntansi untuk transaksi utang-piutang mereka.
Praktik akuntansi pada masa Rasulullah SAW mulai berkembang
setelah ada perintah Allah melalui Al-Qur’an untuk mencatat transaksi yang
bersifat tidak tunai (Al-Baqarah 282) dan untuk membayar zakat. Perintah Allah
dalam Al-Baqarah 282 tersebut telah mendorong setiap individu senantiasa
menggunakan dokumen ataupun bukti transaksi. Adapun perintah Allah untuk
membayar zakat mendorong umat Islam saat itu untuk mencatat dan menilai aset
yang dimilikinya. Berkembangnya praktik pencatatan dan penilaian aset merupakan
konsekwensi logis dari ketentuan membayar zakat yang besarnya dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari aset yang dimiliki seseorang yang telah
memenuhi kriteria nisab dan haul.
b)
Faktor yang mengantarkan
Perkembangan Akuntansi di Negara Islam
Daulat abbassiyah, 132-232H/750-847 M memiliki banyak
kelebihan dibanding yang lain dalam pengembangan akuntansi secara umum dan
buku-buku akuntansi secara khusus.Diantara contoh buku-bukukhusus yang dikenal
pada masa kehidupan negara islam itu adalah sebagai berikut:
1.
Daftarul nafaqat (Buku Pengeluaran) Buku ini
disimpan di diwan nafaqat dan diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran
khilafah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2.
Daftarun Nafaqat Wal Iradat(Buku Pengeluaran dan Pemasukan)
buku ini disimpan di Diwanil mal, dandiwan ini bertanggung jawab atas pembukaan
seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya
3.
Daftar Amwalil Mushadarah (Buku harta Sitan) Buku ini
digunakan di Diwanul Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan
dari para menteri dan pejabat-pejabat senir negara pada saat itu.
Umat islam juga mengenal buku Khusus yang lain, yang dikenal
dengan nama Al Auraj, yaitu serupadengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil
Madinin (Debtors or accounts receivable subsidiary ledger). Kata
Auraj adalah dari bahasa persia, kemudin digunakan dalam bahasa Arab. Auraj
digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap
halaman dikhususkan untuksetiap orang yang dibebani untuk membayar
pajak,didalamnya dicatat jumlah pajak yangarus dibayar, juga jumlah yang telah
dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi.
Disamping itu, kaum muslimin dinegara islam mengenal
pembagian piutang menjadi tiga kelompok:
1.
Ar Ra’ij minal mal , yaitu piutang yang memungkinkna
untuk didapatkan, yaitu apa yang dikenal dengan nama Ad Duyunul jayyidah,
dalam bahasa inggris dikenal dengan Collectable Debts
2.
Al Munkasir minal mal, yaitu piutang yang mustahil untuk
didapatkan, sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dalam bahasa inggris
dikenal dengan Bad Debts atau Uncollectable Debts
3.
Al Muta’adzir wal mutahayyir
wal muta’aqqid minal mal,
yaitu piutang yang diragukan untuk didapatkan, dalam bahasa inggris adalah Doubtful
Debts.
c.
Praktik Akuntansi Pemerintahan Islam
Kewajiban
zakat berdampak pada pendirian Baitulmal oleh Rasulullah, yang berfungsi
sebagai lembaga penyimpan zakat beserta pendapatan lain yang diterima negara.
Pada masa pemerintahan Rasulullah memilik 42 pejabat yang digaji dan
terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri. Praktik akuntansi pada zaman
Rasulullah baru berada pada tahap penyiapan personal yang menangani
fungsi-fungsi lembaga keuangan negara. Pada masa tersebut, harta kekayaan yang
diperoleh negara langsung didistribusikan setelah harta tersebut diperoleh.
Dengan demikian, tidak terlalu diperlukan pelaporan atas penerimaan dan
pengeluarannya.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, penerimaan negara meningkat secara signifikan. Dengan demikian, kekayaan negara yang disimpan juga semakin besar. Para sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran negara. Kemudian, Khalifah Umar bin Khattab mendirikan unit khusus bernama Diwan yang bertugas membuat laporan keuangan sebagai bentuk akuntabilitas Khalifah atas dana Baitulmal yang menjadi tanggungjawabnya. Selanjutnya, reliabilitas laporan keuangan pemeritahan dikembangkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz berupa praktik pengeluaran bukti penerimaan uang. Kemudian, Khalifah Al Walid bin Abdul Malik mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, penerimaan negara meningkat secara signifikan. Dengan demikian, kekayaan negara yang disimpan juga semakin besar. Para sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran negara. Kemudian, Khalifah Umar bin Khattab mendirikan unit khusus bernama Diwan yang bertugas membuat laporan keuangan sebagai bentuk akuntabilitas Khalifah atas dana Baitulmal yang menjadi tanggungjawabnya. Selanjutnya, reliabilitas laporan keuangan pemeritahan dikembangkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz berupa praktik pengeluaran bukti penerimaan uang. Kemudian, Khalifah Al Walid bin Abdul Malik mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya.
Evolusi perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai
tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiah. Akuntansi diklasifikasikan pada
beberapa spesialisasi, antara lain; akuntansi peternakan, akuntasi pertanian,
akuntansi bendahara, akuntansi konstruksi, akuntansi mata uang, dan pemeriksaan
buku (auditing). Pada masa itu, sistem pembukuan telah menggunakan model buku
besar, yang meliputi :
a.
Jaridaj al-Kharaj (mirip receivable subsidiary ledger), merupakan pembukuan
pemerintah terhadap piutang pada individu atas zakat tanah, hasil pertanian,
serta hewan ternak yang belum dibayar dan cicilan yang telah dibayar. Piutang
dicatat disatu kolom dan pembayaran cicilan dikolom yang lain.
b.
Jaridah an-Nafaqat (jurnal pengeluaran), mencatat pengeluaran
c.
Jaridah al-Mal (jurnal dana), mencatat penerimaan dan pengeluaran
d.
Jaridah al-Musadareen, pembukuan yang digunakan untuk mencatat penerimaan denda
atau sita dari individu yang tidak sesuai syariah, termasuk dari pejabat yang
korup.
Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan akuntansi, antara lain :
a. Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat perbulan
b. Al-Khitmah al-Jame’ah, laporann keuangan komperhensif yang berisikan gabungan antara laporan laba rugi dan neraca yang dilaporkan di akhir tahun.
Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan akuntansi, antara lain :
a. Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat perbulan
b. Al-Khitmah al-Jame’ah, laporann keuangan komperhensif yang berisikan gabungan antara laporan laba rugi dan neraca yang dilaporkan di akhir tahun.
Istilah Zornal (sekarang journal) telah lebih dahulu
digunakan oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan
keuangan. Double entry yang ditulis oleh Pacioli, telah lama dipraktekkan dalam
pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi
di dunia Islam telah berkembang dan dipraktekan jauh sebelum terbitnya buku
“Summa de Arithmetica Geometrica, Proportioni et Proportionalita” pada tahun
1494 M karya Lucas Pacioli yang oleh barat diklaim sebagi “bapak” akuntansi
modern. Dalam perkembangannya, klaim barat tersebut ternyata banyak diragukan
oleh para peneliti.
D) Berbagai
Pendekatan dalam Mengembangkan Akuntansi Syariah
a) Pendekatan
Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer
Pendekatan ini biasa disingkat dengan pendekatan
induktif, yang dipelopori oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi
keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan
bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung
pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan
dengan intitusi yang memerlukannya. Selain itu, pendekatan ini sesuai dengan
prinsip ibaha (boleh) yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terkait dalam
bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang
menyatakannya.
Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu dan dipandang merusak karena mengandung asumsi yang tidak Islami.
Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu dan dipandang merusak karena mengandung asumsi yang tidak Islami.
b) Pendekatan
Deduktif dari Sumber Ajaran Islam
Pendekatan deduktif ini dipelopori oleh beberapa
pemikir akuntansi syariah, antara lain Iwan Triyuwono, Akhyar Adnan, Gaffikin
dan beberapa pemikit lainnya. Mereka berpandangan bahwa tujuan akuntansi
syariah adalah pemenuhan kewajiban zakat.
Pendekatan ini diawali denngan menentukan tujuan berdasarkan prinsip ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Pendekatan ini diawali denngan menentukan tujuan berdasarkan prinsip ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Kemudian tujuan tersebut dignakan untuk
mengembangkan akuntansi kontemporer.Argumen yang mendukung pendekatan ini
menyatakan bahwa pendekatan ini akan meminimalisasi pengaruh pemikiran sekuler
terhadap tujuan dan akuntansi yang dikembangkan. Adapun argumen yang menentang
menyatakan bahwa pendekatan ini sulit dikembangkan dalam bentuk praktisnya.
c) Pendekatan
Hibrid
Pendekatan ini didasarkan pada prinsipsyariah yang
sesuai dengan ajaran Islam dan persoalan masyarakat yang akuntansi syariah
mungkin dapat bantu menyelesaikan. Pendekatan ini dipelopori oleh pemikir
akuntansi syariah Shahul Hameed.Pendekatan Hibrid secara parsial telah
diterapkan di lingkungan beberapa perusahaan konvensional. Pendekatan ini
mengapresiasi perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan di Eropa dalam tiga
dekade terakhir, dan menganggap itu perlu diaplikasikan dalam akuntansi syariah.
Dan selanjutnya yang perlu dilakukan oleh pemikir akuntansi Islam adalah
mengembangkan triple bottom line menjadi fourt bottom line (ekonomi, sosial,
lingkungan, dan kesesuaian syariah).
H.
PERKEMBANGAN SISTEM AKUNTANSI MASYARAKAT MUSLIM
Pengembangan akuntansi pada negara Islam dimotivasi oleh
agama dan diasosiasikan dengan kewajiban zakat pada tahun 2 H (624), akuntansi
nampaknya dimulai dengan pendirian Dewans untuk pencatatan Baitul Mal
pendapatan dan pengeluaran. Tanggal yang pasti aplikasi pertama kali sistem
akuntansi pada negara Islam tidak diketahui, namun sistem tersebut
didokumentasikan pertama kalinya oleh Al-Khawarizmy pada tahun 365 H (976).
Sistem akuntansi disusun untuk mrefleksikan tipe proyek yang dikerjakan oleh
negara Islam sejalan dengan pemenuhan terhadap syara’. Projek-projek tersebut
termasuk industri, pertanian, keuangan, perumahan dan proyek jasa. Sistem
akuntansi menggabungkan rangkain pembukuan dan prosedur pencatatan, beberapa
prosedur-prosedur tersebut meruapakan sifat dasar dan digunakan untuk semua
sistem akuntansi, sementara yang lain diperuntukkan bagi sistem akuntansi
tertentu. Sebagaimana disebutkan diatas, orang yang diberi tanggung jawab ini
disebut dengan Al-Kateb (Pembukuan/akuntan)
Tujuan
sistem akuntansi adalah untuk, memfasilitasi pengembilan keputusan secara umum,
evaluasi proyek, meskipun sistem ini diinisiasi bagi tujuan pemerintahan, namun
beberapa juga diimplementasikan oleh wiraswasta untuk mengukur keuntungan yang
akan dikenakan zakat, kesuksesan aplikasi sistem akuntansi oleh pemerintah
telah mendorong wiraswasta untuk mengadaptasi sistem yang sama khususnya untuk
tujuan zakat.
Sistem
akuntansi didiskusikan dan dianalisa disini secara mendalam telah disebutkan
oleh Al-Khawarizmy dan detailnya oleh Al-Mazenderany, sistem akuntansi tersebut
berorientasi income-statement (laporan laba rugi). Dan dirancang untuk
menyediakan kebutuhan segera negara Islam, beberapa sistem akuntansi
disandingan dengan transaksi monetary dan monetery sementara yang lain hanya
disandarkan pada ukuran moneter. Alasan penggunaan moneter dan non moneter
secara simultan adalah untuk menjamin ketepatan pengumpulan, pembayaran,
pencatatan dan kontrol pendapatan dan pengeluaran negara.
Enam
sistem akuntansi khusus di kembangkan dan dipraktekkan dalam negara Islam
sebagaimana didokumentasikan oleh Al-Khawarizmy dan Al-Mazendariny yaitu pada
tahun 765H/1363M antara lain:
1.
Stable Accounting (Accounting for
Livestock): sistem ini dibawah pengendalian manajer pemeliharaan ternak dan
membutuhkan relevanasi transaksi dan pristiwa dicatat saat terjadinya hal-hal
tersebut, transaksi dengan sistem ini misalnya, makanan untuk unta, kuda, dan
keledai; gaji, hewan yang dijual, hewan yang disumbangkan atau hewan
telah mati.
2.
Rice Farm Accounting (Agricultural
Accounting):Hal ini nampaknya merupakan sistem non-moneter karena memerlukan
pencatatan quantitas padi yang diterima dan dibayar serta spesifikasi lahan
hasil pertanian. Sistem ini dijelaskan oleh Al-Mazadarany dan Al-Khawarizmy
dengan tidak adanya pemisahan tugas antara pencatatan dan pengaturan
persediaan.
3.
Warehouse Accounting: jenis ini
didesain untuk akun pembelian persediaan negara. Sistem ini ditempatkan dibawah
pengawasan secara langsung oleh seseorang yang dikenal dapat dipercarcaya.
Sistem ini mensyaratkan pencatatan detail dari tiap barang yang diterima dan
sumber pengiriman dalam buku yang dipersiapkan untuk tujuan tersebut.
4.
Mint Accounting (Currency
Accounting): Sistem akuntansi ini dirancang dan diimplementasikan di negara
Islam sebelum abad ke 14 M, sistem ini memerlukan kecepatan konfersi emas dan
perak yang diterima oleh otoritas keuangan dalam bentuk batangan atau koin.
Lebih jauh sistem ini mensyaratkan kecepatan pengiriman batang emas dan koin
kepada pihak berwenang. Hal ini menyarankan bahwa sistem tidak mengizinkan
bahan baku (emas dan perak) atau produk akhir (emas batangan dan koin) disimpan
untuk waktu lama. Penerimaan otoritas pencetakan dikalkulasikan sekitar 5% dari
biaya emas dan perak, atau sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan
5.
Sheep Grazing Accounting: Akuntansi
bentuk ini diinisiasi dan diterapkan oleh otoritas pemerintahan di negara
Islam, dan digunakan oleh pihak swasta untuk mengukur keuntungan atau kerugian
untuk tujuan zakat.
6. Treasury Accounting: sistem ini
digunakan oleh pemerintah dan memerlukan catatan rutin semua penerimaan
perbendaharaan dan pembayaran. digunakan sebagai catatan penerimaan
perbendaharaan dan pembayaran dalam bentuk kas dan yang sejenisnya.
I. ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS
Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman
(2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan
akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan
aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya.
Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan
teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
·
Akuntansi
Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a)
menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan
dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001;
Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk
kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang
memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan
syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam
kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic
Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan
PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman
pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian
berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada
pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas
terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan
keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk
laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca,
laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain
seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan
penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures
yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank
syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah.
Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan
ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak
dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah
mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan.
Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman
dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang
menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di
Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping
membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis
laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan
responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya
manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank
syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan
yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian
praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia.
Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai
tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan
laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun
Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah.
Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan
keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan
Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi
budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis
dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat.
Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi
sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi
pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah
lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima,
kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih
mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki
sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
·
Akuntansi
Syari’ah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat
akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima.
Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi
konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik,
sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling
dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006;
Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas
berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu
laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai
Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang
dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory
(seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam
PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004)
bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih
mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi
konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi
dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi
syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono
2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan
Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan
tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap
1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas.
Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b)
konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung
memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini
belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep
dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect
participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS,
Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate
ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima
pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct
participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct
stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang
terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok,
pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang
tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq
(penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam
(misalnya untuk pelestarian alam).
·
Komparasi
Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai
perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas
adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep
dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi
teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca,
laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua,
akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar
teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah
penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan
perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk
memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan
idealis, silakan lihat gambar berikut:
J.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN KONVENSIONAL
Meskipun lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan
konvensional memiliki banyak perbedaan, namun tidak menutup kemungkinan tentang
persamaannya. Persamaan lembaga keuangan syari’ah dengan konvensional meliputi:
(1) teknis penerimaan uang; (2) mekanisme transfer; (3) teknologi computer yang
digunakan; (4) syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KT, NPWP,
proposal dan lain sebagainya.
Perbedaan lembaga keuangan syariah dengan konvensional
meliputi: pertama, aspek akad (transaksi) dan legalitas; Setiap lembaga keuangan
syariah keuangan dalam lembaga keuangan syariah, baik dalamhal barang, praktisi
transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentauan lembaga keuangan
syariah, seperti rukun dan syaratnya. Kedua, bisnis dan usaha yang dibiayai;
terdapat saringan kehalalan, kemanfaatan dan kemaslahatan. Untuk menentukan
kehahalan, kemafaatan dan kemaslahatan dapat diidentifikasi melalui
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah objek pembiayaan halal atau
haram?
b. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan
bagi masyarakat?
c. Apakah proyek berkaitan dengan
pebuatan mesum / asusila?
d. Apakah protek berkaitan dengan
perjudian?
e. Apakah usaha itu berkaitan dengan
industri senjata illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh
massal?
f. Apakah proyek dapat merugikan syi’ar
Islam, baik secara langsung atau tidak langsung?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bersifat absolute.
Artinya pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa saja bertambah seiring dengan
perkembangan jaman yang ada. Hal lain yang harus ditunjukkan oleh LKS adalah
lingkungan kerja (corporate culture) yang berbeda dengan LKK. Lingkungan kerja
yang sejalan dengan syariah dalam hal etika, misalnya: (a) amanah (dapat
dipercaya); (b) shiddiq (benar); (c) fathonah (cerdas dan professional); (d)
tabligh (mampu melaksanakan tugas secara team-work di mana informasi merata di
seluruh fungsional organisasi.
Lingkungan kerja dan corporate culture adalah cara
berpakaian dan bertingkah laku, misalnya rapa, sopan dan menutup aurat, lemah
lembut, akhlaq yang baik menghadapi nasabah, membudayakan senyum (bagian dari
shadaqah), struktur organisasi, keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS)
yang bertugas mengawasi operasional Lembaga Keuangan Syariah dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Untuk memperjelas
perbedaan LKS dan LLK dibicarakan pada pembahasan selanjutnya. Dari uraian
diatas tampak bahwa lembaga keuangan syariah memiliki karakter yang berbeda
dengan lembaga keuangan konvensional pada umumnya, meskipun ada kesamaan dalam
hal-hal tertentu.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Lahirnya
sebuah paradigma dapat dipahami sebagai bagian dari siklus hukum tuhan
(Sunatullah). Paradigma pra modern digantikan oleh paradigma modern yang positivistik.
Demikian juga paradigma modern pada akhirnya nanti akan digantikan oleh
paradigma lainnya, misalnya posmodern (Syariah). Gejala pergantian paradigma
ini sebetulnya sudah tampak. Deskripsi-deskripsi diatas merupakan gejala yang
konkret kemungkinan bergesernya paradigma lama. Akuntansi modern mulai
dipertanyakan dan diragukan kesahihannya. Dimasa yang akan datang akuntansi
modern tidak menutup kemungkinan akan digantiakan oleh akuntansi alternatif,
yaitu akuntansi syriah yang sudah nampak sebagai bayi yang baru lahir.
II.
SARAN
Dalam
kenyataan akuntansi syariah yang baru lahir ini membelah menjadi dua, yaitu
akuntansi filosofis teoritis dan akuntansi syariah praktis. Yang pertama
mencoba untuk mencari dasar-dasar filosofis yang transendental dalam rangka
membangun akuntansi syariah. Sedangkan yang kedua lebih bersifat pragmatis
untuk memenuhi kebutuhan praktis yang ada saat ini. Kedua model akuntansi
syariah ini dapat berjalan seiring sejalan yang secara positif dapat kita
pandang sebagai proses pengayaan pada perbendaharaan akuntansi syariah.
III.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Muhammad, M.Ag., Pengantar
Akuntansi Syari’ah. Salemba Empat, Jakarta, 2002.
Pengantar Akuntansi Syari’ah Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2004.
Triyuwono Iwan, Perspektif,
Metolodologi dan Teori Akuntansi Syari’ah, Raja Granfindo Persada, Jakarta,
2006.
Muhammad.2005.” Pengantar Akuntansi Syariah
”.Jakarta:salemba empatNurhayati,sri- Wasilah.2009.”Akuntansi Syariah di
Indonesia“.Jakarta:salemba empat.
Komentar
Posting Komentar